Kamis, 18 November 2010

Kerusakan Bumi dan Fenomena Bencana Alam

22 Apr 2009

Kondisi alam di bumi ini semakin memprihatinkan. Di saat memperingati Hari Bumi yang jatuh setiap 22 April ini pun, berbagai pihak menghimbau dan mengadakan aksi untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lebih lanjut. Dimana telah mengakibatkan berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan (krisis air), tsunami dan sebagainya.

Menurut laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) (12/12/2007), sebagian besar bencana alam yang terjadi di dunia sepanjang 2007 merupakan dampak dari pemanasan global. Setiap tahun, jumlah bencana alam naik hampir 20 persen dari tahun sebelumnya. Hingga 10 Oktober 2007, Federasi telah mencatat ada 410 bencana dan 56 persen dari jumlah itu disebabkan oleh perubahan cuaca atau iklim.

Pada 2006, IFRC mencatat 427 bencana alam. Angka tersebut meningkat sebesar 70 persen dalam dua tahun sejak 2004. Selama 10 tahun terakhir, jumlah bencana alam meningkat 40 persen dari dekade sebelumnya. Sedangkan angka kematian yang disebabkan oleh bencana alam meningkat dua kali lipat menjadi 1,2 juta orang dari 600.000 pada dekade sebelumnya. Jumlah korban bencana alam juga meningkat setiap tahun. Tahun 2007, 270 juta orang menjadi korban bencana alam sedangkan tahun sebelumnya 230 orang (Suara Pembaruan, 2007).

Di Indonesia sendiri telah berulang kali terjadi bencana banjir, longsor, banjir pasang naik, gempa, tsunami, bahkan beberapa saat lalu telah terjadi musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Tangerang, Banten akibat tidak kuat menahan tekanan air hujan yang tertampung.

Menurut laporan Walhi, antara tahun 2006-2008, di Indonesia sedikitnya telah terjadi 840 peristiwa bencana alam. Sedang periode sebelumnya, antara 1998 hingga 2003 tercatat sebanyak 647 bencana. Data bencana dari Bakornas Penanggulangan Bencana antara tahun 2003-2005 tercatat terjadi 1.429 bencana. Artinya, antara 1998 hingga 2008 terdapat indikasi peningkatan peristiwa bencana.

Di Sumatera Selatan (Sumsel) saja, sepanjang tahun 2008 telah terjadi 30 kali bencana alam, antara lain bencana banjir, angin puting beliung, tanah longsor, serta kebakaran rumah warga maupun lahan. Bencana alam banjir sebanyak tiga kali terjadi antara lain di Kabupaten Musi Rawas, Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Ilir. Sedangkan tahun 2009 hingga saat ini telah terjadi bencana alam sebanyak enam kali, antara lain banjir di Kabupaten Ogan Ilir termasuk di wilayah Kota Palembang (Regional Roll, 2009).

Dana bencana alam pun meningkat. Di awal 2009 sekarang saja, dana bencana alam di Departemen Sosial tahun 2009 sudah terserap sebanyak Rp 300 milliar dari Rp 400 miliar yang dianggarkan. Artinya yang tersisa pada Februari 2009 hanya Rp 100 milliar.

Berbagai bencana alam sebagai fenomena pemanasan global tersebut menurut peneliti yang juga dosen senior dari Fakultas Kehutanan UGM Ir San Afri Awang M.Sc (2008) merupakan dampak dari degradasi hutan. Bahkan dikawatirkan jika degradasi dan deforestasi hutan terus berlanjut sekiranya 20% pulau di wilayah Indonesia akan tenggelam seiring dengan naiknya suhu dan cuaca sekitar dua derajat celcius akibat pemanasan global.

Demikian juga krisis air yang telah terjadi saat ini akan semakin parah. Menurut Hidayat Pawitan, Profesor Hidrologi Sumber Daya Air dari Institut Pertanian Bogor (IPB) (Kapanlagi.com, 2009), ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa dan Bali sudah berada pada titik kritis, dengan perbandingan tingkat penggunaan dan ketersediaan air lebih dari 50%.

Berdasarkan neraca penggunaan air nasional sudah lebih dari 50 persen indeksnya, ini sudah kritis. Indeks ketersediaan air yang aman kurang dari 30%. Saat ini ketersediaan air di Jawa dan Bali sekitar 126.451 juta meter kubik dengan total kebutuhan air 65.840 juta meter kubik, dimana 80% di antaranya digunakan untuk keperluan irigasi.

Hal itu terjadi karena Pulau Jawa dan Bali telah mengalami perubahan signifikan dalam aspek sosio-ekonomi, lingkungan, klimatologi serta hidrologi yang secara langsung mempengaruhi ketersediaan air permukaan. Kebutuhan air di kawasan itu semakin meningkat, seiring pertumbuhan populasi dan peningkatan polusi, sementara kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air makin rendah, akibat deforestasi dan kerusakan lahan.

Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan. Koefisien limpasan pada kawasan yang hutan alamnya masih bagus di bawah 0,1%, kalau sebagian hutan sudah dikonversi menjadi sawah koefisien limpasan biasanya bertambah menjadi 30%, dan kalau dikonversi menjadi ruko bisa mencapai 90%, sedikit sekali air yang tertahan.

Konservasi
Untuk menekan dampak deforestasi, menurut Hidayat Pawitan, pemerintah mesti mengembangkan upaya pelestarian sumberdaya air secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Yaitu dimulai dengan konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan, dengan model yang dibuat berdasarkan kondisi awal dari kawasan tersebut.

Tentunya penting juga penegakan hukum terhadap pelaku penebangan ilegal ((illegal logging) untuk mencegah perusakan hutan lebih lanjut. Maraknya penebangan ilegal telah memperparah degradasi dan deforestasi hutan yang sekarang sudah mencapai 59 juta ha dengan laju degradasi tahun 2000-2007 seluas 1,18 juta ha/tahun.
Sejak tahun 1999, menurut San Afri Awang, perambahan hutan ilegal itu marak terjadi sebagai akibat belum diterapkannya tata kelola hutan yang baik dan sesuai menurut kaidah ilmu pengetahuan kehutanan. Kaidah utama tersebut adalah tindakan penataan kawasan hutan menjadi unit-unit manajemen terkontrol. Namun selama ini lebih dari 30 tahun, unit manajemen hutan tropis di luar Jawa tidak diterapkan.

Perusahaan swasta yang mendapat ijin pemerintah hanya menjalankan rencana eksploitasi dan menyerahkan regenerasi tanaman pada alam, perusahaan tidak membangun unit manajemen hutan lestari. Perusahaan swasta ini sebagian besar tidak peduli dengan kelestarian hutan, sementara pengawasan atas eksploitasi hutan dari pemerintah sangat lemah dan tidak sistematis.

Pusat Semburan Lumpur Ditenggelami Beton

25 Mar 2010

Sudah hampir 4 tahun bencana semburan lumpur Lapindo menenggelamkan kehidupan di sebagian wilayah Porong, Sidoarjo. Berikut ini penuturan Zaini (penulis) berdasarkan pengamatannya tentang kondisi terkini seputar pusat semburan lumpur Lapindo yang disampaikan pada beritabumi.or.id sebagai tanggapan atas kondisi lumpur Lapindo, Minggu (21/3).

Saat ini menurut pengamatan saya, pusat semburan lumpur ditenggelami beton. Efeknya adalah getaran di dalam dari tenggelamnya beton. Sedangkan pada sumur pusat semburan tanah di dalamnya sensitif akibat dari kebocoran pengeboran. Penumpukan beton akan mengakibatkan air bertekanan tinggi yang menghasilkan lumpur panas menerobos dan menggerus tanah di sekitar pusat semburan. Sehingga terjadi pelebaran diameter yang mengakibatkan semburan makin besar.

Pelebaran diameter juga dapat diakibatkan karena lamanya waktu semburan yang hampir selama 4 tahun. Kalau pusat semburan makin besar, mungkin semburan liar yang terjadi berkurang. Itu karena air bertekanan tinggi lebih cenderung fokus pada ruang yang lebih besar (pusat semburan). Kalau semburan liar yang terjadi setelah pelebaran diameter itu merupakan air bertekanan tinggi terperangkap dalam jumlah yang sangat kecil sehingga semburan liar yang terjadi berlangsung dalam waktu yang tidak lama.
Tentang semburan liar yang terjadi suhunya tidak selalu tinggi.

Itu karena air bertekanan tinggi mengalami kapilaritas (peresapan) sehingga air bertekanan tinggi tidak mampu keluar dan hanya memberikan gaya pada air tanah sehingga yang keluar ke permukaan hanya air tanah yang bersuhu rendah (beberapa semburan liar yang terjadi suhunya rendah dan berlangsung pada waktu yang tidak lama).

Fenomena semburan berhenti beberapa saat Itu merupakan penumpukan beton dengan ukuran diameter bervariasi. Karena terjadi penumpukan, maka semburan berhenti beberapa saat. Ketika semburan berhenti beberapa saat akibat penumpukan beton, lumpur panas hasil air bertekanan tinggi tidak bisa keluar dan menyebabkan penggerusan lapisan lempung oleh air bertekanan tinggi yang dapat membentuk wadah lumpur, sementara itu air bertekanan tinggi terus-menerus diberikan dari kebocoran pengeboran, maka air bertekanan tinggi terus-menerus memberikan gaya pada wadah lumpur, karena volume lumpur sangat besar dan air bertekanan tinggi terus-menerus diberikan dari kebocoran pengeboran, cepat atau lambat lumpur panas hasil air bertekanan tinggi akan keluar.

Sementara itu tanah di sekitar pusat semburan menjadi sensitif akibat suhu tinggi dan getaran dari tenggelamnya beton. Sehingga dengan mudah daerah ini (pusat semburan) lebih cenderung dilalui penumpukan beton dengan kedalaman tidak lebih 80m karena pusat semburan yang terjadi tidak pindah . Kegagalan menghentikan semburan lumpur dengan berat jenis lumpur yang lebih tinggi, selain karena kehabisan lumpur dengan berat jenis lumpur yang lebih tinggi, faktor lain yang mempengaruhi adalah suhu di dalam yang sangat tinggi, sehingga lumpur dengan berat jenis yang lebih tinggi juga ikut tergerus.

Tentang semburan yang akan diprediksikan berhenti dalam waktu 31 atau100 tahun, tidak ada yang bisa memprediksikan kapan semburan akan berhenti karena tidak ada yang mengetahui pasti berapa energi yang dipakai untuk menghasilkan semburan lumpur panas. Kalaupun semburan berhenti dari waktu yang diprediksikan, tidak menutup kemungkinan dalam radius beberapa meter akan mengalami ambles atau longsor secara besar-besaran dan dampak lainnya akan menghadang di masa yang akan datang.

Kegagalan pengeboran menyebabkan air bertekanan tinggi di antara partikel pasir menekan ke samping dan memberikan ruang gerak air bertekanan tinggi. Sehingga air bertekanan tinggi membuat daerah untuk dilalui. Dan dalam perjalanan mulainya air bertekanan tinggi melewati pori-pori dan meresap menyebabkan penggerusan, sehingga air bertekanan tinggi membentuk sebuah daerah untuk dilalui. Untuk menghentikan kebocoran rasanya sangat sulit karena air bertekanan tinggi dalam waktu hampir 4 tahun sudah membuat daerah yang lebih luas bergerak.

Lakukan pengeboran kembali di antara pusat semburan dengan pengeboran lama sesuai standart pengeboran. Sebelum melakukan pengeboran baru, tarik garik lurus antara pusat semburan dengan pengeboran lama, cari jarak idealnya melalui perhitungan. Bor hingga kedalaman kebocoran, tentukan juga titik potong kedalaman pengeboran baru. Lumpur yang dihasilkan mengandung gas-gas asam yang beracun, semua upaya penanggulangan sudah maksimal, terpaksa menghentikan semburan dengan reaksi kimia.

Masukkan senyawa kimia Alkali (Hidroksida) agar bereaksi dengan fluida yang naik dari pusat semburan, masukkan dari pengeboran baru. Volume senyawa Alkali (Hidroksida) yang dimasukkan lebih dari atau sama dengan volume debit lumpur yang dikeluarkan dari pusat semburan. Untuk memilih senyawa Alkali (Hidroksida), dengan viskositas lumpur, suhu lumpur, berat jenis lumpur dan ukuran partikel lumpur . Gerakan fluida karena underground akan membantu penghomogenan. Untuk penentuannya sebagai berikut: A = ½ x B x C x D E F² = B²-C²+D².

Keterangan: A = Jarak ideal untuk melakukan pengeboran baru (m); B = Kedalaman kebocoran pengeboran (m); C = Jarak antara pusat semburan dengan pengeboran lama(m); D = Diameter pipa yang digunakan untuk melakukan pengeboran baru (m); E = Debit perhari dari pusat semburan (m3) F = Kedalaman kebocoran (m).

Untuk pengeboran baru tidak lebih atau sama dengan kebocoran pengeboran lama. (kalau mungkin ada penentuan lain). Kalau bisa dimasukkan dari pengeboran lama tidak perlu melakukan pengeboran baru karena bisa langsung bereaksi. Kalau dalam dalam waktu hampir 4 tahun bisa menenggelamkan sekian desa, maka dalam beberapa tahun ke depan berapa desa lagi yang akan tenggelam.

Lumpur yang naik ke permukaan suhunya tinggi dengan disertai gas-gas beracun, NaOH mungkin yang efektif untuk bereaksi dengan fluida yang naik ( kalau ada senyawa lain yang lebih efektif) prinsip dari metode ini adalah menetralkan fluida yang bersuhu tinggi disertai gas-gas beracun. NaOH yang dimasukkan akan bereaksi dengan fluida, NaOH juga dapat mengendapkan unsur-unsur logam berat yang ada dalam fluida. Jika fluida netral, kebocoran pengeboran akan tersumbat endapan dari reaksi.

Efek dari metode ini mungkin adalah mata air penduduk sekitar, pH mata air penduduk akan sedikit meningkat. (pertanyaan pada poin c) (mungkin ada senyawa lain yang lebih ekfetif). Kalau bisa sebelum melakukan metode tersebut pastikan sumur yang dilakukan pengeboran miring dalam keadaan tdak berfungsi agar senyawa yang dimasukkan hanya fokus tertuju pada pusat semburan dan beberapa semburan yang terjadi di sekitarnya.

Berapa ribu tonpun semen yang disuntikan pasti akan terseret oleh aliran fluida, ditambah lagi cenderung akan menyebabkan semburan baru.

Kesalahan Regulasi, Buntut Kerusakan Lingkungan

15 May 2008

Tragedi lingkungan yang melanda Indonesia tak pernah punah bahkan semakin akrab. Betapa tidak, dari tahun ke tahun berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan dan puso serta longsor, senantiasa menjadi malapetaka yang menimpa negeri ini. Ribuan hektar sawah dan perladangan masyarakat hancur berantakan bahkan hilang lenyap tak berbekas ditelan bencana banjir dan longsor.

Kondisi ini semakin diperparah, terlebih jika kita menyaksikan pentasan bencana di gelanggang pangan rakyat di tengah kritisnya bumi ini. Ratusan hektar sawah masyarakat Bellu Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak tahun 2000 hingga sekarang terus menyusut. Kondisi itu tentunya memperparah krisis pangan pada masyarakat Bellu.

Belum lagi dalam dekade tiga tahun terakhir ini, banjir dan longsor di Kabupaten Halmahera Maluku Utara dan Morowali sebagai bencana banjir yang terbesar sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir di Sulawesi Tengah yang dirasakan oleh 18.142 jiwa penduduk di Kecamatan Bungku Utara, 7.933 jiwa di Kecamatan Mamosalato, 28.662 jiwa di Kecamatan Petasia dan 4.945 jiwa di Kecamatan Soyojaya.

Apa buntut persoalan? Jika dicermati lebih jauh, faktor penyebabnya pada aspek kebijakan atau regulasi. Apabila berbagai bencana lingkungan kita kaji lebih mendalam, pangkal persoalannya banyak bermuara pada kebijakan pemerintah di sektor kehutanan. Ini terbukti sejak masa Orde Baru yang mengeluarkan kebijakan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-Undang Pokok Pertambangan No 11/1967. Dua regulasi ini merupakan awal krisis lingkungan berkelanjutan.

Mengapa? Dengan pada regulasi tersebut di atas, telah terjadi pemberian konsesi untuk Hak Pengusahaan Hutan (PP No 21/1970), Hutan Tanaman Industri (PP No 7/1990), Hutan Kemasyarakatan (SK Menhut 677/Kpts-II/1998) dan usaha pertambangan, merupakan kebijakan yang ambisius. Artinya, di satu sisi devisa yang diperoleh dari sektor kehutanan (green gold rush) merupakan sumber potensial terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi pada periode 1980-1990an. Pada sisi lain, kewenangan yang diberikan pada pemegang konsesi hutan dan tambang menjadi alat eksploitasi yang sangat destruktif.

Sebagai contoh, kerusakan hutan di Kalimantan akibat dari pemberian konsesi untuk HPH yang berhasil memproduksi asap ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Philipina, merupakan sebuah pengalaman pahit yang menimpa negeri ini. Ijin konsesi ini dimulai sejak rejim Soeharto berkuasa dan terkesan belum ada perubahan yang sigifikan walau telah terjadi pergantian presiden mulai dari Presiden Habibie sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang memimpin negeri ini.

Sekedar mengingatkan kita, sekitar bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar merupakan kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong. Laporan FAO ‘State of the World’s Forests 2007’ menyebutkan Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya.

Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah memporak-porandakan dan merusak hutan dan lingkungan. Kawasan-kawasan hutan yang telah ditebang oleh HPH, dengan menggunakan fasilitas 'logging road' dan 'skidding road', berbagai kegiatan eksploitasi dan konversi hutan yang semakin memperparah kerusakan hutan akan menyusul, seperti operasi IPK, penebangan liar, perkebunan skala besar dan sebagainya.

Pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menyatakan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera karena harus kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutan. Forest Watch Indonesia (2001) menyatakan kalau kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah (bukan rawa) di Sumatera akan punah dan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama di tahun-tahun mendatang.

Sementara sektor pertambangan dengan merujuk pada Undang-Undang Pokok Pertambangan No 11/1967, berbagai bentuk kebijakan telah melahirkan bencana kemanusiaan. Sebut saja bencana lumpur gas Lapindo yang kini belum juga selesai penanggulangannya, menjadi salah satu bukti kebijakan pertambangan yang tidak mempertimbangkan risiko bencana.

Bukan hanya itu, masih banyak berbagai kebijakan pertambangan yang bakal melahirkan bencana kemanusiaan. Misalnya, kebijakan eksploitasi tambang emas dan tembaga di wilayah Kabupaten Lembata, Provinsi NTT oleh Grup Merukh Enterprises, PT Merukh Lembata Copper; yang sedianya akan beroperasi pada 2009 nanti. Rencana ini menunjukkan Pemerintah Daerah Lembata dan perusahaan tak pernah surut dari langkah kebijakannya dan menampik gelombang protes dari masyarakat Lembata.

Ironisnya, areal yang bakal menjadi wilayah eksploitasi tambang emas dan tembaga ini mencakup sebagian besar wilayah pengembangan hutan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan kebijakan pengembangan hutan Lembata oleh Dinas kehutanan. Ini berarti, negara telah dirugikan dari total anggaran yang telah diplot untuk program Gerhan dan pengembangan kehutanan, berikut luas wilayah hutan Kabupaten Lembata telah berkurang dari total luas 1.644 hektar.

Dari semua fenomena tersebut, menjadi nyata bahwa kerusakan lingkungan berbuntut pada aspek kebijakan atau regulasi yang diikuti dengan keserakahan personal atau oknum yang bermain di dalamnya dengan berbagai intrik untuk kepentingan dirinya dan kroni-kroninya. Ini akan sedikit terminimalisir jika ada kesadaran moral baru bagi semua pihak terlebih para pemegang kebijakan di negeri ini.


http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0076&ikey=1

Minggu, 24 Oktober 2010

Karangan Ilmiah, Ilmiah Populer, dan Nonilmiah

Setelah mempelajari materi II, mahasiswa dapat mengembangkan kepribadian dengan cara menguasai pengetahuan tentang menulis karangan ilmiah, semi populer, dan nonilmiah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar

A. PENGANTAR
Menulis karangan adalah kegiatan menulis usulan-usulan yang benar berupa pernyataan-pernyataan tentang fakta, kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta dan merupakan pengetahuan. Terdapat tiga golongan karangan, yaitu ilmiah, ilmiah popular, dan nonilmiah. Berikut akan penulis jelaskan golongan demi golongan.

B. KARANGAN ILMIAH
1. Pengertian, Ciri, dan Bentuk Karangan Ilmiah
Karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta umum yang ditulis menurut metodologi dan penulisan yang benar adalah pengertian karangan ilmiah. Ciri-ciri karangan ilmiah yaitu:
a. sistematis;
b. objektif;
c. cermat, tepat, dan benar;
d. tidak persuasif;
e. tidak argumentatif;
f. tidak emotif;
g. tidak mengejar keuntungan sendiri;
h. tidak melebih-lebihkan sesuatu.
Bentuk karangan ilmiah dapat berupa makalah, usulan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi. Makalah adalah karangan ilmiah yang membahas suatu topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup perkuliahan, seminar, simposium, atau pertemuan ilmiah lainnya. Makalah terdiri atas judul karangan, abstrak, pendahuluan, pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka.
Usulan penelitian atau proposal adalah usulan tentang suatu hal sebagai rencana kerja atau penelitian yang dituangkan dalam bentuk rancangan penelitian. Usulan penelitian memuat judul, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, hipotesis, metode penelitian, jadwal kegiatan, sistemetika penulisan, dan daftar pustaka.
Skripsi adalah pelatihan pembuatan karangan ilmiah yang berupa naskah teknis sebagai persyaratan bagi calon sarjana. Tesis adalah karangan ilimiah yang menitikberatkan pada metodologi penelitian dan metodologi penulisan. Disertasi adalah karangan ilmiah yang selain mementingkan metodologi penelitian dan penulisan juga harus menemukan paradigma baru tentang suatu ilmu.

2. Metode ilmiah
Metode ilmiah adalah garis-garis pemikiran yang bersifat konseptual dan prosedural. Konseptual berarti memiliki gagasan orisinil, sedangkan prosedural berarti memulai dengan observasi dan mengakhiri dengan pernyataan-pernyataan umum. Suatu hal yang harus dipegang teguh dalam menerapkan sikap ilmiah adalah konsistensi. Tujuan mempelajari metodologi penulisan karangan ilmiah:
a. meningkatkan keterampilan dalam mengorganisasikan dan menyajikan fakta secara sistematis;
b. meningkatkan keterampilan dalam menulis berbagai karya tulis;
c. meningkatkan pengetahuan tentang mekanisme penulisan karangan ilmiah.
Selanjutnya, sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh seoarang peneliti yaitu ingin tahu dan kritis; terbuka dan objektif; menghargai karya orang lain; berani mempertahankan kebenaran; sikap menjangkau ke depan.

3. Pelaksanaan Penulisan Karangan Ilmiah
Langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu membuat timbangan pustaka, menentukan masalah, memcahkan masalah, membentuk hipotesis, menguji hipotesis, dan menerbitkan hasil penelitian. Timbangan pustaka adalah menimbang atau menilai hasil-hasil penelitian yang telah dikerjakan oleh orang lain untuk dibahas dan disimpulkan. Persyaratan penimbang pustaka yaitu berpengetahuan dalam bidangnya, berkemampuan menganalisis, berpengetahuan dalam acuan yang sebanding. Timbangan pustaka ini berguna untuk mengetahui letak masalah yang kita kemukakan dalam ruang yang sama.

KARANGAN ILMIAH POPULER
1. Pengertian, Ciri, dan Bentuk Karangan Ilmiah Popular
Karangan ilmiah popular atau semiilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta pribadi dan ditulis menurut metodologi penulisan yang benar. Karangan jenis semiilmiah biasa dinamai ilmiah popular. Ciri-ciri karangan ilmiah popular:
a ditulis berdasarkan fakta pribadi,
b fakta yang disimpulkan subyektif,
c gaya bahasa formal dan popular,
d mementingkan diri penulis,
e melebihkan-lebihkan sesuatu,
f usulan-usulan bersifat argumentatif, dan
g bersifat persuasif.

2. Contoh Karangan Ilmiah Popular
Bentuk karangan semiilmiah atau ilmiah popular yaitu artikel, editorial, opini, tips, dan resensi buku. Berikut adalah resensi buku berupa apresiasi berupa apresiasi terhadap sebuah karya sastra. Resensi buku adalah bentuk kombinasi antara uraian, ringkasan, dan kritik objektif terhadap sebuah buku. Klasifikasi pembuatan resensi buku ilmiah yaitu ringkasan, deskripsi, kritik, apresiasi, dan praduga. Klasifikasi pembuatan resensi buku nonilmiah seperti puisi dan novel yaitu ringkasan, deskripsi, kritik, dan apresiasi.

KARANGAN NONILMIAH
1. Pengertian, Ciri, dan Bentuk Karangan Nonilmiah
Karangan nonilmiah adalah karangan yang menyajikan fakta pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri karangan nonilmiah:
a. ditulis berdasarkan fakta pribadi,
b. fakta yang disimpulkan subyektif,
c. gaya bahasa konotatif dan populer,
d. tidak memuat hipotesis,
e. penyajian dibarengi dengan sejarah,
f. bersifat imajinatif,
g. situasi didramatisir, dan
h. bersifat persuasif.

2. Contoh Karangan Nonilmiah
Dongeng, cerpen, novel, drama, dan roman adalah contoh karangan nonilmiah. Berikut penulis kutipkan cuplikan novel Hantu Jeruk Purut karya Yennie Hardiwidjaja dan synopsis telenovela Maria Mercedes.

BAHASA KARANGAN ILMIAH, ILMIAH POPULER, DAN NONILMIAH
“Kecermatan dalam berbahasa mencerminkan ketelitian dalam berpikir” adalah slogan yang harus dipahami dan diterapkan oleh seorang penulis. Melalui kecermatan bahasa gagasan atau ide-ide kita akan tersampaikan. Oleh karena itu, penguasaan bahasa amat diperlukan ketika Anda menulis.
Bahasa dalam karangan ilmiah menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi. Ciri-ciri ragam resmi yaitu menerapkan kesantunan ejaan (EYD/Ejaan Yang Disempurnakan), kesantunan diksi, kesantunan kalimat, kesantunan paragraph, menggunakan kata ganti pertama “penulis”, bukan saya, aku, kami atau kita, memakai kata baku atau istilah ilmiah, bukan popular, menggunakan makna denotasi, bukan konotasi, menghindarkan pemakaian unsur bahasa kedaerahan, dan mengikuti konvensi penulisan karangan ilmiah.
Terdapat tiga bagian dalam konvensi penulisan karangan ilmiah, yaitu bagian awal karangan (preliminaries), bagian isi (main body), dan bagian akhir karangan (reference matter).
Berbeda dengan karangan ilmiah, bahasa dalam karangan semiilmiah/ilmiah popular dan nonilmiah melonggarkan aturan, seperti menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi dan figurative, menggunakan istilah-istilah yang umum atau popular yang dipahami oleh semua kalangan, dan menggunakan kalimat yang kurang efektif seperti pada karya sastra. Berikut perbandingan istilah ilmiah dan popular.

KATA ILMIAH KATA POPULER
Metode
Prosedur
Sahih
Fonem
Populasi
Stadium
Karbon
Produk
Volume
Makro
Paradigma

Cara
Lankah-langkah
Sah
Bunyi
Penduduk
Tahapan
Orang
Hasil
Isi
Besar
Pandangan.

Sindroma Balint (penyakit mata)

Sindroma balint merupakan suatu sindrom yang utamanya terdiri dari simultanagnosia, ataksia optik, disorientasi spasial , dan hemispasial neglek. Banyak gejala gejala penyerta lainnya , namun keberadaan 2 dari gejala diatas ditambah dengan disorientasi spasial sudah memenuhi syarat untuk ditegakkannya diagnosis sindroma balint .

Sindroma ini terjadi akibat kerusakan dari kedua lobus parietal , dengan faktor etiologi yang sangat beragam . Tidak ada suatu metode terapi yang khusus dapat menyembuhkan sindroma ini kecuali memperbaiki penyakit yang mendasarinya , dan prognosis yang dimiliki juga tergantung dari penyakit yang mendasarinya , namun biasanya buruk

Kata kunci : sindroma balint – manifestasi klinis – penatalaksanaan

Abstract
Balint syndrome is a syndrome which contain simultanagnosia, optic ataxia, spasial disorientation, and neglect hemispatial .There are a lot of clinical manifestation follow them , but for work of diagnostic purpose , we just need 2 of them and add spatial disorientation. This syndrome occur biparietal damage, cause a several number of etiologic factors.
There are not specific therapy, except to manage its underlying desease, and prognostic factor for this circumstasnces usually poor .

Keywords : balint syndrome – clinical manifestation – management


Pendahuluan

Sindroma Balint merupakan sindroma yang timbul karena kerusakan kedua sisi lobus parietal, yang pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Hungaria bernama Reszo Balint pada tahun 1909 .(1) Saat itu ia menyadari bahwa pasiennya memiliki keterbatasan dalam penglihatannya dimana pesien tidak dapat melihat lebih dari satu obyek pada waktu yang bersamaan, disertai ataksia optik, dan ketidakmampuan pasien untuk menjangkau obyek yang letaknya berhadapan dengan dirinya .

Dalam ilustrasinya , Balint mengungkapkan sewaktu dilakukan pemeriksaan terhadap si pasien dengan dua buah benda yang saling melekat satu sama lain ( misalnya sisir dan sendok ) , maka si pasien hanya melihat benda yang didepannya saja , apabila percobaan tersebut diulang lagi , dengan sebelumnya kedua benda tersebut diturunkan ; maka pasien tampak kebingungan , karena ia malah tidak melihat kedua benda tersebut , namun yang ia lihat benda yang terletak lebih di belakang lagi dari kedua benda yang melekat itu ; yaitu papan tulis yang penuh dengan coretan tulisan dengan menggunakan kapur .

Simultanagnosia yang terjadi pada pasien pasien tersebut ternyata tidak terpengaruh terhadap lapang pandang yang dimilikinya ; karena pada pemeriksaan lebih lanjut , tampak lapang pandang intak dengan pemeriksaan menggunakan satu obyek ; dan dari penelitian lebih lanjut tampak bahwa simultanagnosia juga tidak terpengaruh terhadap besar obyek yang dilihat ; jadi pasien dapat saja melihat entah itu semut atau gajah selama hanya satu obyek tunggal.

Sindroma biparietal yang terkena ini , ternyata juga timbul dari adanya hemispasial neglect dan kekacauan kata kata yang diderita pasien . Lebih lanjut akan kita diskusikan , hal hal apa saja yang membangkitkan sindroma ini , dan analisa hipotesis yang mendasari terjadinya keadaan ini .(2)

Etiologi dan anatomi sindroma Balint
Secara anatomi , tidak hanya lesi yang dapat menyebabkan hemispasial neglect ( utamanya pada daerah perbatasan temporoparietal ) yang dapat menyebabkan sindroma ini , tapi juga lesi lesi bilateral yang memiliki jaras penghubung pada area asosiasi posterior didaerah kortek. Lesi didaerah oksipitoparietal , yang mengenai gyrus angularis pada lobus oksipital dorsorostral , lalu area precuneus juga dapat menyebabkan sindroma ini , dengan penyebaran kearea girus temporalis superior . (1,2,3)
Apabila sindroma Balint terjadi tanpa hemispasial neglect , maka kemungkinan penyebab terbesar , kerusakan melibatkan daerah kuneus dan prekuneus dari perbatasan parieto-oksipital , dan girus angularis pada kedua belah sisi otak besar .(3)
Keterlibatan girus parieto-oksipital dalam hal ini , dapat terjadi akibat stroke akibat emboli jantung, penetrasi peluru , dan hal hal lainnya ; hal ini disebabkan karena girus ini terletak pada daerah yang diperdarahi arteri otak bagian medial dan posterior , sehingga sebab sebab lainnya yang disebut diatas dapat pula mencakup akibat hipoperfusi cerebral secara global , oligemia yang disebabkan hipoksia , hiperglikemia, peningkatan asidosis laktat disepanjang daerah tersebut .(3)
Suatu keadaan yang timbul terkait dengan operasi by-pass jantung yang dijalani pasien , sehingga yang bersangkutan mengalami syok kardiogenik sehingga menyebabkan hipotensi dan hipoksia sering terjadi dan memicu timbulnya sindroma Balint yang tidak disadari .

Sebab lainnya adalah suatu glioma yang bercorak kupu kupu , yang timbul di satu sisi lobus parietal dan menyebar ke lobus parietal diseberangnya , melewati korpus kallosum ; apabila dilakukan radiasi pada keadaan tersebut , maka nekrosis yang timbul akibat radiasi tersebut , dapat juga menyebabkan keadaan ini .(1,2,4)
Penyakit penyakit degeneratif, seperti alzheimer sudah dilaporkan dapat menyebabkan sindroma Balint .

Kelainan kelainan yang seringkali ditemukan pada sindroma ini , karena terkait dengan kerusakan pada bagian bagian otak yang sudah disebutkan diatas , sudah banyak dilaporkan dalam berbagai kepustakaan ; diantara kelainan kelainan tersebut ialah agnosia asosiatif, prosopagnosia, alexia, gangguan lapang pandang, dan beberapa gangguan kognitif . Dengan banyaknya kelainan penyerta yang timbul , seringkali pemeriksan kesulitan menegakkan suatu diagnosa sindroma Balint ; namun Holmes dan Horax mengatakan bahwa ,apabila sudah dipenuhi 2 tanda utama dari keadaan ini yaitu gangguan konstriksi atensi pada visual ( yang mencakup simultanagnosia dan ataksia optik ) serta disorientasi spasial ; maka penegakkan diagnosa sindroma ini sudah sangat memadai .

Kelainan kelainan yang sering timbul pada sindroma Balint
Bila sindroma ini sudah masuk dalam stadium berat , penderita akan tampak seperti orang buta , tidak ada reflek ancam , gaya berjalan tampak seperti orang sempoyongan , dan tidak dapat mempertahankan posisi bila berhadapan dengan lawan bicaranya secara frontal . Pada pemeriksaan , bila pemeriksan tenang dan sabar, dengan meletakan obyek didepan pasien hingga matanya mampu memfiksasi obyek tersebut ( tanpa ada obyek lainnya ) , pasien mulai menyadari dan mampu melihat obyek tersebut , namun pada saat itu , pasien betul betul tidak akan melihat disekeliling obyek yang dilihat , sehingga perhatiannya hanya terfokus pada obyek tersebut .

Pada suatu pemeriksaan sindroma balint yang sudah cukup berat ; pernah seorang pasien disuruh untuk menggambar suatu obyek diatas kertas gambar. Keesokan harinya begitu pemeriksa memperlihatkan gambar yang telah dibuat pasien , dengan sedikit terkesima penuh kekaguman, pasien memiringkan kepalanya, dan memicingkan matanya , dan berujar kepada si pemeriksa ,” dokter, saya tidak melihat gambar apapun yang ada , namun apabila bentuk yang dokter maksud itu adalah pola dan corakan serat serat kertas yang ada dihadapan saya ; maka corakan tersebut memang sangat mengagumkan “.(4)

Gangguan konstriksi atensi pada visual : Simultanagnosia
Holmes dan Horax , memeriksa seorang veteran perang dunia I berumur 30 tahun , dengan bekas luka tembak yang menembus gyrus parieto-oksipital , dan menulis kesimpulannya bahwa pasien hanya dapat melihat satu objek pada satu waktu .(2,3,4)
Coslett dan Saffran , melukiskan bahwa pasien yang ia periksa tidak saja sangat terganggu dengan pola penglihatannya sekarang dimana pasien hanya dapat melihat satu orang pada acara televisi yang pasien tonton , tapi juga pasien sering kebingungan apabila membaca rangkaian kata ; begitu juga pada saat menulis , karena seringkali pasien melihat ujung pensilnya hilang berganti dengan corakan kertas , dan berganti lagi dengan huruf yang ia tulis .

Lebih lanjut , Holmes dan Horax menemukan bahwa pasien sindroma Balient tidak dapat membedakan besar-lecil, panjang-pendeknya sebuah benda , bukan karena tidak dapat memperbandingkannya ,namun lebih karena tidak ada obyek yang dapat dipergunakan sebagai obyek pembandingnya.(3)

Sehingga dapat dikatakan simultanagnosia adalah suatu padanan yang digunakan untuk melukiskan adanya kelainan dalam mengintegrasi suatu pola pandangan . Namun perlu dicatat , bahwa menurut Wolpert , suatu simultanagnosia saja , tidak hanya terjadi pada sindroma balint , karena setiap lesi yang terjadi pada kortek parieto-oksipital sebelah kiri , seringkali menyebabkan simultanagnosia ; sementara Farah mengatakan bahwa simultanagnosia pada sindroma Balint lebih tepat disebut dorsal dan ventral simultanagnosia , yang merupakan suatu kelainan akibat lesi di parieto-oksipital kiri dan menyebar kedaerah lobus oksipital , sehingga pasien pasien sindroma balint yang menderita simultanagnosia , tidak hanya tidak dapat melihat lebih dari satu obyek pada saat yang bersamaan , tapi juga terdapat suatu disorientasi spasial , dimana ia tidak tahu mengenai letak obyek tersebut atau kemana harus mencari keberadaan obyek tersebut .

Disorientasi spasial

Holmes dan Horax mengatakan bahwa disorientasi spasial merupakan tanda utama dari sindroma Balint . Mereka melukiskan , bahwa pada pemeriksaan terhadap seorang pasien yang menderita sindroma Balint , bahwa pasien itu sedang berada beberapa meter dari tempat tidurnya , begitu disuruh kembali untuk merubah arahnya menuju tempat tidurnya ; si pasien berbalik, dengan kebingungan mencari dimana tempat tidurnya ; begitu menemukan tempat tidurnya , dan pada saat ia mulai melangkah ; isi pasien berkata ; bahwa ia harus mencari kembali dimana posisi tempat tidurnya . (8)
Tidak pelak lagi , bahwa kedua gangguan ini (simultanagnosia dan disorientasi spasial ) merupakan suatu masalah yang cukup serius bagi pasien dalam menjalani kehidupannya sehari hari .

Pergerakan mata yang bermasalah
Pergerakan okulomotor yang bermasalah , juga kerapkali timbul dalam sindroma Balint , seperti gangguan fiksasi, sakadik , pergerakan pursuit dan bola mata . Dengan pasien yang tidak dapat mempertahankan fiksasi kedua bola matanya , maka kemungkinan terjadinya sakadik cukup besar , sehingga akan membuat penghayatan persepsi penglihatan yang kacau karena pergerakan bola mata yang kacau .(2,4)
Holmes dan Horax melukiskan , bahwa dalam pemeriksaan pasien mereka ; si pasien dapat memfiksasi pandangannya terhadap satu obyek ; namun apabila tempat dari obyek tersebut di gerakan / diubah / digeser dengan cepat ; maka si pasien akan kehilangan pandangannya terhadap obyek yang bergerak itu , tidak masalah apakah pergeseran itu hanya beberapa derajat .

Ataksia Optik
Pada penderita sindroma Balint , terdapat ketidakmampuan untuk menjangkau obyek . Dalam salah satu tulisannya , Holmes dan Horax melukiskan, bahkan sesaat setelah melihat sendok, pasien tidak dapat melihat lurus ke sendok tersebut, dan saat mencoba menjangkaunya, gerakannya sangat tidak akurat , karena dilakukan dengan cara tangannya meraba raba mencari sendok tersebut, hingga menyentuh sendok . (2,3)
Atau contoh lainnya ; berikan pasien penderita sindroma ini sebuah pensil ; lalu minta kepadanya untuk menggambarkan sebuah titik pada lingkaran yang sudah tergambar diatas kertas . Pasien dengan sindroma Balint tidak akan bisa melakukan hal tersebut , bukan karena ketidaktahuannya akan bentuk lingkaran atau fungsi dari pensil , namun lebih karena ia tidak tahu atau tepatnya tidak dapat melihat bentuk lingkaran .(2)

Kelemahan persepsi
Holmes dan Horax menemukan kelainan ini bersama dengan disorientasi spasial . Dikarenakan pasien pasien dengan sindroma ini , tidak dapat melihat dua benda secara bersamaan , maka iapun tidak dapat memperkirakan benda mana yang lebih besar dari lainnya , benda mana yang paling dekat dengannya ; namun tidak demikian bila ada satu benda yang diperlihatkan kepadanya . Misalnya kita memperlihatkan pensil , maka pasien akan tahu bagian mana yang diatas atau yang dibawah . Ketidakmampuan persepsi tersebut juga berlaku pada bidang warna .(6,7)

Kontribusi hemisfer kiri terhadap pergeseran atensi terhadap obyek yang dilihat
Egly dan kawan kawan melakukan penelitian ini terhadap pasien pasien penderita sindroma Balint . Dari hasil eksperimen mereka didapat hasil bahwa terdapat pergeseran atensi diantara obyek pada lesi lobus parietal khususnya sebelah kiri . Pada pasien pasien denan lesi unilateral didapatkan pergeseran atensi , dimana respon terhadap kontraletaral terhadap lesi lebih besar daripada ipsilateral . Dari hasil penelitian lebih jauh didapatkan hasil bahwa lobus parietal kanan mengurusi pergeseran atensi berdasarkan lokasi , sementara lobus parietal kiri mengurusi pergeseran atensi berdasarkan obyek . Kinerja yang sinergis diantara kedua lobus tersebut , disebabkan adanya jaras jaras neocorteks yang menghubungkannya . Pada lapang pandang kanan dalam penelitian ini , tidak didapatkan suatu kelainan .(6,7)

Terapi dan Prognosis
Terapi yang kita gunakan dalam penatalaksanaan sindroma ini adalah sangat tidak spesifik , dan kesemuanya harus berawal dari penyakit yang mendasarinya . Sehingga apabila underlying desease yang menyebabkannya sudah kita atasi , diharapkan manifestasi klinis yang timbul dapat membaik .
Demikian pula dengan prognosis yang dimiliki , akan sangat tergantung dari underlying desease yang menyebabkan sindroma ini terjadi , namun biasanya dikarenakan pasien sudah dalam stadium lanjut waktu memeriksakan penyakitnya ke dokter , prognosis yang biasanya terjadi adalah buruk .

Kesimpulan
Seluruh gambaran penting dari sindroma in dapat digolongkan dalam 2 bagian besar , yaitu :
1. penyempitan atensi visual terhadap satu obyek
2. berkutangnya akses terhadap representasi topografik yang berasal dari stimulus visual
terhadap lapang pandang dunia luar maupun memori topografik yang menyertainya .
Keadaan tersebut menyebabkan pasien pasien yang menderita sindroma Balint ini akan melakukan :
1. memiliki keengganan untuk mengenali obyek dan lokasinya
2. proses persepsia yang tidak layak
3. tidak berlakunya representasi spasial dan atensi guna mengenali lingkungan luar yang
berhubungan dengannya .
Tidak ada suatu metode terapi yang khusus dapat menyembuhkan sindroma ini kecuali memperbaiki penyakit yang mendasarinya , dan prognosis yang dimiliki juga tergantung dari penyakit yang mendasarinya , namun biasanya buruk

Perbedaan karangan ragam standart dan non standart

Definisi Ragam Bahasa

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan.Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.

Hal-hal yang menyebabkan timbulnya Ragam Bahasa
Sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tidak baku. Dalam situasi resmi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tidak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.

Dari sekian banyak ragam bahasa, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman bahasa. diantaranya :
• Faktor Budaya atau letak Geografis
• Faktor Ilmu pengetahuan
• Faktor Sejarah

Perbedaan ragam standar, semi standar dan nonstandar. Dilakukan berdasarkan:
a. topik yang sedang dibahas,
b. hubungan antarpembicara,
c. medium yang digunakan,
d. lingkungan, atau
e. situasi saat pembicaraan terjadi

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar adalah:
• Penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
• Penggunaan kata tertentu,
• Penggunaan imbuhan,
• Penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
• Penggunaan fungsi yang lengkap.

Penjelasan
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata Saya atau Aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata Gue.

Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.

Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Contoh 1:
(a) " Ibu mengatakan, kita akan pergi besok"
(b) "Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok"

Pada Contoh (1a) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki pada Contoh (1b) yang merupakan ragam standar.

Contoh 2:
(a) "Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu."
(b) "Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu."

Kalimat (a) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (b) kehilangan kata depan (untuk). Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.

Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pĂ«mbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

Macam-Macam Ragam Bahasa
Ragam bahasa dapat dibedakan menjadi lima. Ada yang disebut ragam baku atau frozen, ragam resmi atau formal, ragam usaha atau konsultatif, ragam santai atau kasual dan ragam akrab atau intimate.

Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi khidmat dan upacara resmi. Misalnya, dalam khotbah, undang-undang, akte notaris, sumpah, dsb.

Ragam resmi adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, ceramah, buku pelajaran, dsb.

Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, ataupun pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal atau santai.

Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dangan keluarga atau teman pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dsb. Ragam ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk ujaran yang dipendekkan.

Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau teman karib. Ragam ini menggunakan bahasa yang tidak lengkap dengan artikulasi yang tidak jelas.

Ragam bahasa berdasarkan teknik atau cara pengungkapan nya (Media Pengantarnya atau Sarananya):

1. Ragam Lisan
Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah, dan ragam lisan yang non standar, misalnya dalam percakapan antar teman, di pasar, atau dalam kesempatan non formal lainnya.

Contoh Ragam Bahasa Lisan :
- Nia sedang baca surat kabar
- Ari mau nulis surat
- Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
- Mereka tinggal di Menteng.
- Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
- Saya akan tanyakan soal itu

2. Ragam Tulis
Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun non standar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis non standar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.

Contoh Ragam Bahasa Tulis :
- Sobat vely sedang membaca surat kabar
- Rangga mau menulis surat
- Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
- Mereka bertempat tinggal di bogor
- Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
- Akan saya tanyakan soal itu.

Ragam Bahasa Berdasarkan situasi dan pemakaian nya: Digunakan Ragam Bahasa Baku.

Terdiri atas :
(1) ragam bahasa baku tulis dan
(2) ragam bahasa baku lisan.

Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.

Ragam Bahasa berdasarkan topik atau pokok pembicaraan meliputi:
• ragam undang-undang
• ragam jurnalistik
• ragam ilmiah
• ragam sastra

Ragam Bahasa berdasarkan teknik atau cara pengungkapan meliputi:
• ragam ekonomi
• ragam psikolog
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.

Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.

Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :

1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).

Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.

Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.

Minggu, 26 September 2010

RAGAM DAN LARAS BAHASA

Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
1.Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.

2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.

3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.

4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.

5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.

6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).

Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri. Bahasa isyarat akan dibahas pada artikel lain di situs organisasi.

Laras bahasa (bahasa Inggris: register) adalah ragam bahasa yang digunakan untuk suatu tujuan atau pada konteks sosial tertentu. Banyak sekali laras bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa batasan yang jelas di antara mereka. Definisi dan kategorisasi laras bahasa pun berbeda antara para ahli linguistik. Salah satu model pembagian laras bahasa yang paling terkemuka diajukan oleh Joos (1961) yang membagi lima laras bahasa menurut derajat keformalannya, yaitu:
(1) beku (frozen),
(2) resmi (formal),
(3) konsultatif (consultative),
(4) santai (casual), dan
(5) akrab (intimate).

Ragam beku digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan. Ragam resmi digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato resmi, rapat resmi, dan jurnal ilmiah. Ragam konsultatif digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar. Ragam santai digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab. Ragam akrab digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan intim.

FUNGSI BAHASA

Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.

Aspek Bahasa

Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.

Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya,itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (=yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan
reaksi atau tanggapan dari orang lain).

Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.

Benarkah Bahasa Mempengaruhi Perilaku Manusia?

Menurut Sabriani (1963), mempertanyakan bahwa apakah bahasa mempengaruhi perilaku manusia atau tidak? Sebenarnya ada variabel lain yang berada diantara variabel bahasa dan perilaku. Variabel tersebut adalah variabel realita. Jika hal ini benar, maka terbukalah peluang bahwa belum tentu bahasa yang mempengaruhi perilaku manusia, bisa jadi realita atau keduanya.

Kehadiran realita dan hubungannya dengan variabel lain, yakni bahasa dan perilaku, perlu dibuktikan kebenarannya. Selain itu, perlu juga dicermati bahwa istilah perilaku menyiratkan penutur. Istilah perilaku merujuk ke perilaku penutur bahasa, yang dalam artian komunikasi mencakup pendengar, pembaca, pembicara, dan penulis.

Bahasa dan Realita

Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata
cecak.

memiliki hubungan kausal dengan referennya atau binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Lebih lanjut Fodor mengatakan bahwa problema bahasa adalah problema makna. Sebenarnya, tidak semua ahli bahasa membedakan antara simbol dan tanda.

Dari uraian di atas dapat ditangkap bahwa salah satu cara mengungkapkan makna adalah dengan bahasa, dan masih banyak cara yang lain yang dapat dipergunakan. Namun sejauh ini, apa makna dari makna, atau apa yang dimaksud dengan makna belum jelas. Bolinger (1981) menyatakan bahwa bahasa memiliki sistem fonem, yang terbentuk dari distinctive features bunyi, sistem morfem dan sintaksis. Untuk mengungkapkan makna bahasa harus berhubungan dengan dunia luar. Yang dimaksud dengan dunia luar adalah dunia di luar bahasa termasuk dunia dalam diri penutur bahasa. Dunia dalam pengertian seperti inilah disebut realita.

Penjelasan Bolinger (1981) tersebut menunjukkan bahwa makna adalah hubungan antara realita dan bahasa. Sementara realita mencakup segala sesuatu yang berada di luar bahasa. Realita itu mungkin terwujud dalam bentuk abstraksi bahasa, karena tidak ada bahasa tanpa makna. Sementara makna adalah hasil hubungan bahasa dan realita.

Bahasa dan Perilaku

Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam bahasa selalu tersirat realita. Sementara perilaku selalu merujuk pada pelaku komunikasi. Komunikasi bisa terjadi jika proses decoding dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses ini dapat berjalan dengan baik jika baik encoder maupun decoder sama-sama memiliki pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang sama.

Dengan memakai pengertian yang diberikan oleh Bolinger(1981) tentang realita, pengetahuan dunia dapat diartikan identik dengan pengetahuan realita. Bagaimana manusia memperoleh bahasa dapat dijelaskan dengan teori-teori pemerolehan bahasa. Sedangkan pemerolehan pengetahuan dunia (realita) atau proses penghubungan bahasa dan realita pada prinsipnya sama, yakni manusia memperoleh
representasi mental realita, melalui pengalaman yang langsung atau melalui pemberitahuan orang lain. Misalnya seseorang menyaksikan sebuah kecelakaan terjadi, orang tersebut akan memiliki representasi mental tentang kecelakaan tersebut dari orang yang langsung menyaksikannya juga akan membentuk representasi mental tentang kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi perbedaan representasi mentalpada kedua orang itu.

Fungsi Bahasa

Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.

Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.

Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).

Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia
persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).

Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).

Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.

Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri

Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan
lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.

Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku, merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.

Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :

- agar menarik perhatian orang lain terhadap kita,

- keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi

Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).

Bahasa sebagai Alat Komunikasi

Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi
semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).

Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.


Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial

Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.

Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.

Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial

Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.

Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.

Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.

Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekedar berkomunikasi, berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa yang berlaku.

Ungkapan “Gunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” Kita tentu sudah sering mendengar dan membaca ungkapan tersebut. Permasalahannya adalah pengertian apa yang terbentuk dalam benak kita ketika mendengar ungkapan tersebut? Apakah sebenarnya ungkapan itu? Apakah yang dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang benar?

Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa tentu jauh berbeda.

Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan.

Marilah kita gunakan contoh sebuah majalah atau buku. Pengirim pesan dapat berupa penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi pesan adalah permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan. Media pesan merupakan majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis itu disampaikan kepada pembaca yang dituju. Cara artikel atau cerita itu disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju. Berarti, dalam pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.

Bahasa yang Benar
Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa.

Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek (1) tata bunyi (fonologi), (2)tata bahasa (kata dan kalimat), (3) kosa kata (termasuk istilah), (4), ejaan, dan (5) makna. Pada aspek tata bunyi, misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi, zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot.

Pada aspek tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah, robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban. Dari segi kalimat pernyataan di bawah ini tidak benar karena tidak mengandung subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat atau dan objek.
(1) Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria.
Jika kata pada yang mengawali pernyataan itu ditiadakan, unsur tabel di atas menjadi subjek. Dengan demikian, kalimat itu benar. Pada aspek kosa kata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa yang benar.

Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita. Penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan. Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari penggunaan kalimat-kalimat yang efektif, yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat (Dendy Sugondo, 1999 : 21)..
Berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya menekankan kebenaran dalam hal tata bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak selalu hanus merupakan bahasa standar. Sebaliknya, penggunaan bahasa standar tidak selalu berarti bahwa bahasa itu baik dan benar. Sebaiknya, kita menggunakan ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan disamping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar.

Sabtu, 05 Juni 2010

KONTRIBUSI UKM TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

A. Kondisi Ekonomi Daerah Nasional Tahun 2008 dan Perkiraan Tahun 2009

Kinerja perekonomian nasional pada tahun 2009 diperkirakan akan mengalami perlambatan. Berlanjutnya krisis keuangan global ini akan mendorong sulitnya aliran masuk modal asing ke dalam negeri. Berdasarkan hal tersebut, maka laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan menurun pada kisaran 4% ¬5% yang didorong dari permintaan domestik. Faktor-faktor pendorong lainnya adalah : Komitmen pemerintah untuk merealisasikan anggaran lebih awal, kegiatan Pemilu, Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) serta berbagai kebijakan fiskal lainnya.

Inflasi tahun 2008 sebesar 11,06% dan bulan pertama tahun 2009 mengalami deflasi menjadi sebesar 0,07%. Angka ini menimbulkan optimisme laju inflasi akan dapat dipertahankan pada level di bawah dua digit. Menurunnya tekanan inflasi di dalam negeri antara lain disebabkan oleh penurunan harga komoditi pangan dan energi dunia, membaiknya produksi pangan dalam negeri pada tahun 2008, serta perlambatan permintaan agregat (Bank Indonesia). Penurunan harga BBM juga diharapkan diikuti oleh penurunan tarif dasar listrik, harga barang, dan tarif transportasi yang signifikan, sehingga ekspektasi inflasi makin terkendali dan dimungkinkan bergerak pada kisaran 6 + 1 %.
Nilai rupiah terhadap dollar masih fluktuatif pada kisaran Rp.11.000,--Rp.12.000,-per US$, tekanan permintaan valuta asing terutama bersumber : 1). Defisit aliran modal yang ditengarai oleh menurunnya cadangan devisa dari level tertinggi 57 miliar (Juli 2008) menjadi 51 miliar dollar AS. Repratiasi modal menyebabkan naiknya permintaan dollar AS; 2). Surplus perdagangan Indonesia menurun tajam dari 40 dollar AS (2007 dan 2006) menjadi hanya 11 miliar dollar AS; 3). Stimulus fiskal Pemerintah Amerika Serikat senilai 787 miliar dollar AS untuk memperbaiki perekonomian domestiknya berkorelasi dengan kenaikan kurs dollar AS; 4). Keputusan menurunkan BI rate kurang tepat karena dilakukan pada saat kurs sedang melemah, yakni Rp.11.700,-per US dollar. Kondisi ini pada gilirannya akan menurunkan kinerja pasar saham.
Langkah ini simultan dengan kebijakan pemerintah untuk meredakan tekanan lonjakan harga minyak terhadap kesinambungan fiskal, mempercepat paket kebijakan investasi serta mengatasi gangguan pasokan dan distribusi barang. Untuk itu ketersediaan infrastruktur perlu segera direalisasikan. Sementara itu, untuk mewujudkan realisasi investasi dibutuhkan ketersediaan infrastruktur, seperti jalan tol dan listrik, yang hingga saat ini pembangunannya banyak mengalami kendala.

B. Sasaran Ekonomi Makro tahun 2010

Dengan memperhatikan lingkungan eksternal dan internal, sasaran ekonomi makro tahun 2010 adalah : pertumbuhan ekonomi akan dipertahankan pada rentang 4 -5%, laju inflasi antara 6 + 1%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas harga terjaga, maka pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin akan menurun.
Nilai tukar rupiah akan dipertahankan tidak melebihi Rp.11.000,-, Suku bunga SBI akan berada pada rentang 8,00 – 8,25%. Harga minyak dunia rata-rata akan mencapai antara US$ 54,50/barel.

C. Kondisi Perekonomian Regional
Kondisi makro perekonomian Jawa Tengah cenderung menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Tahun 2007 sebesar 5,59%, sedangkan Tahun 2008 hanya mencapai 5,46%, atau mengalami penurunan sebesar 0,13. Pada periode yang sama angka inflasi sebesar 6,24% dan 9,55 %, atau mengalami kenaikan hampir mencapai dua digit. Di sisi lain suku bunga perbankan pada level yang kondusif, sehingga secara bertahap mendorong permintaan dan realisasi kredit, baik untuk konsumsi masyarakat maupun investasi. Pencapaian indikator-indikator makro ekonomi regional tahun 2007 -2008.

D. Prospek Ekonomi Tahun 2010
Prediksi perekonomian tahun 2010 diharapkan akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini didukung dengan gerakan “Bali Ndeso Mbangun Deso” yang berorientasi pada pedesaan, dimana program-program diarahkan pada kegiatan yang langsung menyentuh pada masyarakat, bersifat padat karya dan merupakan upaya konkrit dalam rangka mendorong perkembangan sektor riil. Pada akhirnya, hal-hal tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan kinerja perekonomian Jawa Tengah secara utuh. Faktor-faktor internal yang masih perlu diantisipasi, antara lain semakin terbatasnya sumber-sumber pendapatan karena pengalihan pengelolaan pendapatan daerah ke kabupaten/kota dan adanya kebijakan zero loading. Di sisi lain program penanggulangan bencana dan penanggulangan berbagai penyakit,

Interaksi Ekonomi Antar Daerah

Interaksi ekonomi antar daerah berlangsung melalui perdagangan antar daerah. Daerah yang memperoleh manfaat dari perdagangan tersebut adalah daerah yang nilai ekspornya lebih besar dari nilai impor. Besar kecilnya nilai ekspor tergantung pada harga dari jenis barang yang diekspor dan volume ekspor. Sementara itu, besarnya volume ekspor suatu wilayah tergantung pada tingkat kebutuhan wilayah pengimpor, baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk keperluan produksi. Besarnya kebutuhan impor suatu daerah untuk tujuan produksi, tergantung pada seberapa besar keterkaitan (linkages) antara sektor-sektor produksi di daerah pengimpor terhadap sektor-sektor produksi di daerah pengekspor.
Interlinkages, keterkaitan antar sektor antar daerah, menentukan pola ketergantungan ekonomi antar daerah. Ketergantungan ekonomi antar daerah dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pola “dominan-tergantung” (dependence). Pola ini mempunyai ciri interaksi antara wilayah dominan dan wilayah yang tergantung, di mana wilayah dominan memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam interaksi ekonomi, bahkan cenderung mengeksploitasi wilayah yang tergantung untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, pola ini akan menimbulkan ketimpangan ekonomi antarwilayah yang semakin besar. Kedua, pola “centre-periphery” (konsep interdependence), di mana sektor industri (moderen) umumnya berada di wilayah perkotaan sebagai wilayah centre dan sektor primer (tradisional) yang umumnya berada di wilayah pedesaan atau pinggiran kota sebagai wilayah periphery. Pola ini menunjukkan bahwa wilayah periphery menghasilkan dan memasok bahan baku (input) ke wilayah centre, sehingga kemajuan ekonomi wilayah centre akan menarik kemajuan ekonomi wilayah periphery ke tingkat yang lebih maju. Hal yang serupa juga terjadi apabila ekonomi wilayah periphery mengalami pertumbuhan maka permintaan akan hasil produksi wilayah centre akan meningkatkan, yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah centre. Pola interaksi semacam ini pun tidak luput dari kemungkinan terjadinya kesenjangan ekonomi antarwilayah, manakala nilai tukar (term of trade) sektor primer semakin rendah. Ketiga, pola yang serupa dengan pola interaksi ekonomi antara sesama negara industri maju. Pola ini menunjukkan interaksi ekonomi antarwilayah yang saling menguntungkan secara berimbang.
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia
Studi empirik yang berkaitan dengan interaksi ekonomi antar daerah di Indonesia, dilakukan oleh beberapa pihak dengan pembagian wilayah yang berbeda dan kurun waktu yang berbeda, namun menunjukkan fenomena kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia yang kurang-lebih serupa.
Wuryanto (1996) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) membagi wilayah studi menjadi wilayah makro Jawa dan wilayah makro Luar Jawa, dan setiap wilayah makro dibagi lagi menjadi wilayah mikro. Wilayah makro Jawa terdiri atas tiga wilayah mikro, yakni : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Sedangkan wilayah makro Luar Jawa terdiri atas empat wilayah mikro, yakni : Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau-pulau lainnya. Hadi (2001) menggunakan model Interregional Accounting Matrix (IRSAM) membagi wilayah studi menjadi Kawasan Barat Indonesia (meliputi Jawa dan Sumatera) dan Kawasan Timur Indonesia. Achjar et el (2003) menggunakan model IRSAM dengan wilayah studi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya di Luar Jawa. Sedangkan Alim (2006) menggunakan model IRSAM dengan wilayah studi Jawa dan Sumatera.
Secara umum, hasil studi empirik sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa melebarnya kesenjangan ekonomi antar daerah antara lain bersumber dari hal-hal sebagai berikut :
1. Lebih dari 80 persen industri manufaktur yang didirikan di Indonesia berlokasi di Jawa dan di Sumatera sekitar 12 - 13 persen dengan kontribusi nilai tambah yang kurang lebih sama; sedangkan sisanya yang kurang dari 10 persen (antara 7–8 persen) berada di wilayah lainnya.
2. Daerah-daerah Luar Jawa pada umumnya mengekspor produk-produk primer ke Jawa dan mengimpor produk-produk sekunder dari Jawa, dimana nilai impor daerah Luar Jawa jauh lebih besar daripada nilai ekspornya. Hal yang demikian membuat neraca perdagangan daerah-daerah Luar Jawa mengalami defisit, sedangkan neraca perdagangan Jawa mengalami surplus. Ketimpangan neraca perdagangan ini menjadi semakin parah manakala harga relatif produk-produk primer semakin rendah terhadap produk-produk sekunder.
3. Kegiatan produksi sektor-sektor ekonomi di Luar Jawa sangat bergantung pada input yang berasal dari Jawa, sedangkan sebaliknya tidak. Hal ini mengakibatkan efek multiplier yang diterima perekonomian Jawa atas kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa sangat besar, sedangkan sebaliknya tidak. Dengan kata lain spillover effect yang ditimbuhkan oleh kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa terhadap perekonomian Jawa jauh lebih besar daripada sebaliknya. Kondisi ini membuat kesenjangan ekonomi antar daerah menjadi semakin melebar.
Kesenjangan ekonomi antar daerah yang sangat ekstrim akan sangat mudah menimbukan konflik vertikal maupun konflik horizontal, yang pada gilirannya akan mengakibatkan terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar daerah secara dini merupakan suatu keharusan, yang berarti menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi, baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Konsep Local Economic Development dan Penerapannya di Indonesia
Secara konseptual, paling sedikit terdapat 10 teori pembangunan ekonomi daerah (local economic development). Menurut Maliza dan Feser (1999) ada 10 teori local economic development (LED) sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.


Tabel 1
Ringkasan Teori LED
No Teori Dasar Teori Dasar Pengembangan Sasaran Pengembangan
1 Economic Based Theory Ekspor Barang (komoditas) Peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan Merespon permintaan luar negeri dan multiplier effect
2 Staple Theory Industri berorientasi ekspor Ekspor merupakan kunci pertumbuhan ekonomi Peranan modal asing untuk melayani kebutuhan pasar internasional
3 Sector Theory Pengembangan semua sektor ekonomi baik primer, sekonder, maupun tersier Pengembangan aneka ragam sektor dan peningkatan produktivitas sektor Peningkatan sektor akan meningkatkan kebutuhan dan pendapatan sektor

No Teori Dasar Teori Dasar Pengembangan Sasaran Pengembangan
4 Growth Pole Theory Industri Industri yang bahan bakunya berasal dari daerah lain sehingga pertumbuhan industri semacam ini selain mendorong ekonomi lokasi industri juga mampu meneteskan pertumbuhna ekonomi daerah lain Lokasi industri (propulsive industry) merupakan kutup pertumbuhan (growth pole)
5 Regional Concentration and Diffusion Theory Perdagangan antar daerah dan antar industri Peningkatan pendapatan per kapita Spread and back-wash effect (Myrdal) atau terjadinya penetesan perkembangan dan efek polarisasi (Hirchman)
6 Newclasiccal Growth Theory Agregat ekonomi wilayah Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi per kapita Peningkatan tabungan untuk mendukung investasi dan pembentukkan modal
7 Interregional Trade Theory Faktor harga dan kuantitas komuditi Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi Penyesuaian harga akan memberikan keseimbangkan pada harga, kualitas, dan efek-efek lainnya
8 Product Cyrcle Theory Produk baru akan maturing kemudian usang Kreasi baru akan terus muncul Produk baru dan inovasi
9 Enterprenership Theory Fungsi dan peranan pengusaha Ketahanan dan diversifikasi Proses inovasi
10 Flexible Specialization Theory Struktur industri Pembangunan berkelanjutan melalui produk-produk baru, inovasi, dan spesialisasi Mengikuti pola permintaan dan flesibel

Sepuluh teori tersebut di atas sesungguhnya telah popular dikalangan pakar ekonomi regional (regional economist) dan regional planner di Indonesia. Sedikit banyak teori-teori tersebut pernah diterapkan di Indonesia dalam kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi masa lalu (Repelita) dengan basis wilayah (regionalisasi) berupa provinsi atau gabungan provinsi (Wilayah Pembangunan Utama/WPU). Penggunaan basis wilayah provinsi atau gabungan provinsi memang dimungkinkan dalam mekanisme dekonsentrasi ketika itu. Disamping itu, pernah pula menerapkan teori pembangunan ekonomi daerah berbasis wilayah gabungan kota dan kabupaten yang berciri "Nodalitas" yang disebut dengan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Hanya saja penerapannya tidak secara utuh memilih satu teori atau kombinasi dari berbagai teori, dan dalam rencana aksinya (action plan) lebih didasarkan pada presepsi kebutuhan daerah dan bukan pada realitas kebutuhan dan potensi daerah.
Bukan rahasia lagi bahwa pola perkembangan ekonomi nasional tidak terfokus, sehingga berimbas pada pengembangan ekonomi daerah yang juga tidak terfokus. Tidak terfokusnya pengembangan ekonomi nasional maupun LED juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan institusi, baik pergeseran dari Dekonsentrasi menjadi Desentralisasi, maupun pergeseran fungsi-fungsi pada institusi pemerintahan Pusat. Selain itu, juga diwarnai oleh munculnya paradigma-paradigma baru yang dianggap sebagai solusi, seperti misalnya : pendekatan partisipatif, pro bottom up planning, rural-urban linkages, program pengentasan kemiskinan, good governance, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM), serta pendekatan investasi dan kereksadanaan (obligasi, borrowing system, sekuritisasi aset) dan lain sebagainya.
Berbagai paradigma tersebut, atau mungkin bisa disebut sebagai Schools of Thought saat ini, diikuti oleh berbagai sponsor seperti dari UNDP (Partnership for Local Economic Development), World Bank (City Development Strategy), ADB (Sustainable Capacity Building for Decentralization), USAID (Performance Oriented Regional Management Project), dan Bantuan Bilateral lainnya seperti GTZ, JICA, CIDA. Berbagai program yang diselenggarakan oleh pihak sponsor sebagaimana disebutkan, berjalan sendiri-sendiri, tidak saling terkait dan tidak saling mendukung menuju pada sasaran-sasaran LED, bahkan cenderung acak satu sama lain. Semua ini menengarai tidak adanya visi yang sama terhadap pengembangan ekonomi nasional, khususnya LED, dan dengan sendirinya tidak adanya strategi untuk dipakai sebagai "payung" dari semua upaya yang ada.

Strategi Pembangunan Ekonomi Daerah
Perekonomian daerah adalah ekonomi terbuka. Ini berarti bahwa aktivitas ekspor-impor terjadi dalam perekonomian daerah. Ekspor-impor dalam pengertian ini mencakup jual-beli barang dan jasa dari satu daerah ke daerah lain, disamping dari dan ke negera lain. Tenagakerja yang berdomisili di suatu daerah, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari daerah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Ekspor-impor antar daerah dalam satu negara tidak pernah mengalami hambatan (barrier) apapun seperti yang dikenal dalam perdagangan antar negara (hambatan tarif dan non-tarif).
Sejalan dengan Konsep Basis Ekonomi, kegiatan ekonomi daerah dapat dikelompokkan ke dalam dua sektor, yakni sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis adalah semua kegiatan yang mendatangkan uang dari luar daerah (ekpor barang dan jasa). Sedangkan sektor non-basis adalah semua kegiatan ekonomi yang diperuntukkan bagi kebutuhan konsumsi lokal. Dari sudut pandang sektor non-basis, aktivitas sektor produksi meningkat kalau permintaan output (demand) meningkat. Sementara itu, permintaan terhadap hasil-hasil produksi tersebut tergantung pada pendapatan masyarakat setempat dan pendapatan masyarakat lokal tergantung pada permintaan input oleh sektor produksi setempat. Dengan demikian, sektor non-basis terikat terhadap kondisi pendapatan masyarakat lokal, sehingga ekonomi daerah tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan alamiah daerah (tidak bebas tumbuh).
Sementara itu, dari sudut padang sektor basis, permintaan output sektor produksi tidak hanya terbatas pada permintaan lokal tetapi juga oleh permintaan daerah lain (ekspor). Konsep Basis Ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non-basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor non-basis hanya dapat meningkat apabila pendapatan lokal meningkat. Namun, peningkatan pendapatan lokal ini akan terbatas apabila perekonomiannya hanya mengandalkan pada sektor non-basis. Sedangkan suatu perekonomian yang mampu mengembangkan dan meningkatkan sektor basis maka sektor basis akan mendorong sektor non-basis sehingga pendapatan lokal akan meningkat melebihi peningkatan pendapatan lokal yang hanya mengandalkan sektor non-basis. Dengan demikian, ekspor daerah (regional) merupakan penentu dalam pembangunan ekonomi daerah.
Dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang terdapat dua strategi yang menonjol, yaitu : strategi industriliasasi substitusi impor dan strategi promosi ekspor. Strategi industriliasasi substitusi impor berorientasi pada pasar lokal (dometik), yang disebut juga inward looking strategy, sedangkan stategi promosi ekspor disebut outward looking strategy. Negara-negara berkembang yang menerapkan inward looking strategy berakhir dengan kegagalan, termasuk Indonesia (meskipun pada dekade 1980 beralih ke strategi promosi ekspor, namun basis industrinya masih lemah). Sedangkan negara-negara berkembang yang menerapkan outward looking strategy mencapai suskses dalam pembangunan ekonominya, seperti Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Singapure.
Dalam perdagangan dunia pasca GATT, negara-negara yang menikmati bagian terbesar dari keuntungan global adalah Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, dan Cina. Cina tidak tergolong ke dalam negara-negara industri maju, namun dapat menikmati bagian terbesar dari keuntungan global bersama-sama dengan negara-negara industri maju. Hal ini terjadi karena Cina memiliki agroindustri yang cukup kuat disamping industri ringan lainnya, yang produk-produknya telah memasuki pasar dunia. Thailand juga menikmati keuntungan global karena agroindustrinya juga kuat.
Setelah melihat kegagalan strategi pembangunan yang diterapkan Indonesia pada masa lalu, Saragih (1999) menganjurkan agar membangunan masa depan ekonomi Indonesia melalui pembangunan agribisnis. Anjuran ini didasarkan pada empat alasan pokok, yakni :
1. Indonesia memiliki potensi yang amat besar untuk mengembangkan agribisnis karena memiliki sumberdaya agroklimat dan keanekaragaman sumberdaya hayati yang sangat besar dan terlengkap di dunia. Selain itu, potensi pasar juga besar, baik pasar domestik maupun pasar internasional,
2. Agribisnis pada dasarnya merupakan pemberdayaan keanekaragaman ekosistem yang terdapat di setiap daerah, sehingga pembangunan agribisnis tidak lain adalah pembangunan ekonomi pada setiap daerah,
3. Teknologi produksinya memiliki variasi yang sangat luas, mulai dari padat karya (labor intensive) sampai pada padat ilmu pengetahuan (knowledge intensive), sehingga mampu mengakomodasi tenagakerja dari berbagai jenjang dan latar belakang pendidikan,
4. Pembangunan agribisnis yang berbasis sumberdaya lokal tidak terlalu menuntut pembiayaan dengan utang luar negeri yang besar, bahkan dapat menghasilkan devisa dan memupuk cadangan devisa.
Dengan demikian, apabila agribisnis dibangun dengan baik dan sungguh-sungguh akan mampu mewujudkan pemerataan pembangunan, serta meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di setiap daerah.
Masalah pokok dalam pembangunan ekonomi daerah (local economi development) adalah neraca perdagangan daerah. Dengan demikian, pembangunan ekonomi daerah adalah pembangunan yang berpusat (fokus) pada perbaikan neraca perdagangan daerah (minimal tidak defisit).
Daerah-daerah yang mengalami defisit neraca perdagangan adalah daerah-daerah yang ekspornya didominasi oleh komoditas primer dan input industri pengolahannya sangat tergantung pada impor. Dengan demikian, perbaikan neraca perdagangan daerah hanya dapat ditempuh melalui perubahan struktur ekspor dan struktur impor daerah. Upaya untuk mengubah struktur ekspor daerah berpangkal pada upaya meningkatkan nilai ekspor barang-barang yang sudah terolah melebihi nilai ekspor barang-barang primer. Sedangkan upaya untuk mengubah struktur impor daerah berpangkal pada upaya mengembangkan industri pengolahan berbasis bahan baku lokal. Ini berarti bahwa perubahan struktur ekspor-impor daerah baru akan terjadi manakala daerah-daerah berhasil mengembangkan agroindustri yang berorientasi ekspor. Dengan demikian, strategi pembangunan ekonomi daerah yang relevan adalah Strategi Agroindustri Berorientasi Ekspor.
Strategi pembangunan ekonomi daerah ini akan memperoleh tenaga yang besar apabila pemerintah pusat dapat memberikan dukungan penuh berupa penataan ulang strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan ekonomi nasional yang relevan adalah Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis.
Agribisnis menurut definisi David dan Goldberg (dalam Saragih, 1999) adalah :
”the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, production on the farm and storage; processing and distribution of farm commodities and items made from them”.
Agribisnis merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat subsistem saprotan (penyediaan sarana produksi pertanian), subsistem budidaya, subsistem agroindustri, dan subsistem pemasaran. Penerapan konsep agribisnis hanya akan dapat memberikan hasil optimal apabila keseluruhan subsistemnya telah terintegrasi padu ke dalam satu wadah. Oleh karena itu, apabila pemerintah pusat telah berketetapan memilih Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis sebagai strategi pembangunan nasional, maka salah satu langkah yang mesti ditempuh adalah melakukan reorganisasi pada departemen teknis. Reorganisasi yang dimaksud adalah merubah nama dan fungsi Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Departemen Agribisnis Pertanian, Departemen Agribisnis Kehutanan, dan Departemen Agribisnis Kelautan dan Perikanan. Tentunya fungsi dan peranan dari sejumlah departemen yang terkait akan mengalami perubahan, yakni : subsistem agroindustri dan subsistem pemasaran yang selama ini berada pada departemen-departemen lain, mesti dipisahkan dan diintegrasikan kepada ketiga departemen yang disebutkan di atas.
Apabila Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis berjalan dengan baik, maka laju pertumbuhan ekonomi daerah akan tinggi dan merata di seluruh wilayah. Dengan demikian, perekonomian daerah-daerah akan memberikan akan memberikan konstribusi secara optimal kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, kesenjangan ekonomi antar daerah bisa diminimumkan, meningkatkan kesempatan kerja, dan mengurangi tingkat kemiskinan.

Kesimpulan dan Saran
1. Pembangunan ekonomi masa lalu telah menimbulkan kesenjangan ekonomi antar daerah semakin melebar. Konsentrasi industrialisasi di beberapa daerah di pulau Jawa ternyata tidak mampu menarik/menghela (driven) ekonomi daerah-daerah lain (sebagai periphery) ke arah yang lebih maju. Bahkan membuat kesenjangan ekonomi antar daerah semakin melebar.
2. Perubahan struktur ekonomi nasional pada masa lalu tidak mengakar pada perekonomian daerah, terutama daerah-daerah Luar Jawa. Ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi nasional sebagai buah dari perubahan struktur ekonomi nasional tidak dikonstribusikan secara optimal oleh perekonomian daerah.
3. Untuk meningkatkan peranan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional perlu ikhtiar yang sungguh-sungguh dan sistimatis melalui penerapan Strategi Agroindustri Berorientasi Ekspor di tingkat daerah dan Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis di tingkat pusat.
4. Untuk mendukung keberlangsungan Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis diperlukan adanya reorganisasi pada departemen teknis, yakni mengintergrasikan subsistem-subsistem agribinis ke dalam departemen yang relevan.

Daftar Pustaka

Achjar, N., G.J.D. Hewings and M. Sonis. 2003. Two-Layer Feedback Loop Structure of the Regional Economies of Indonesia: An Interregional Block Structural Path Analysis. The Regional Economics Applications Laboratory (REAL) 03-T-17, www.uiuc.edu/unit/real.
Adisasmita, H. R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Edisi Pertama. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta
Alim, M.R., 2006, Analisis Keterkaitan dan Kesenjangan Ekonomi Intra dan Interregioal Jawa dan Sumatera, Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Alisjahbana, A. S. dan B. P. S. Brojonegoro, 2004, Regional Development in The Era of Decentralization: Growth, Proverty, and the Environment, Universitas Pajajaran-Press, Bandung.
Arsyad, L., 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi pertama, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.
Basalim, U., M. R. Alim, dan H. Oesman, 2000, Perekonomian Indonesia : Krisis dan Strategi Alternatif, Unas-Cidesindo, Jakarta.
Basri, H., 1999, Pembangunan Ekonomi Rakyat Di Pedesaan, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Blakely, E.J., 1994, Planning Local Economic Development: Theory and Practice, Sage Publications.
Bryant, C. dan L. G. White, 1987, Manajemen Pembangunan Untuk Negera Berkembang, LP3ES, Jakarta.
Hidayat, S. dan D. Syamsulbahri, 2001, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Pustaka Quantum. Jakarta.
Hadi, S. 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Neraca Sosial Ekonomi). Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hakim, L., B. Santosa, dan E. Setyaningrum, 2004, Beberapa Agenda Perekonomian Indonesia Kritik dan Solusi, DRFE-Usakti, Jakarta.
Hidayat, S. dan D. Syamsulbahri, 2001, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Pustaka Quantum. Jakarta.
Maliza and Feser, 1999, Understanding Local Economic Development, Center for Urban Policy Research, New Jersey.
Prebisch, R., 1964, Toward a New Trade Policy for Development, United Nations.
Rachbini, D.J., 2004, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Edisi pertama, Granit, Jakarta.
Samiaji, B. T., 2006, Local Economic Development, Teori dan Penerapannya, Info URDI, Volume 15, urdi.pdf.
Saragih, B., 1999, Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia Melalui Pembangunan Sektor Agribisnis, dalam buku Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, Editor: St. Sularto
Sumodiningrat, G., 1996, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.