Kamis, 18 November 2010

Kerusakan Bumi dan Fenomena Bencana Alam

22 Apr 2009

Kondisi alam di bumi ini semakin memprihatinkan. Di saat memperingati Hari Bumi yang jatuh setiap 22 April ini pun, berbagai pihak menghimbau dan mengadakan aksi untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lebih lanjut. Dimana telah mengakibatkan berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan (krisis air), tsunami dan sebagainya.

Menurut laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) (12/12/2007), sebagian besar bencana alam yang terjadi di dunia sepanjang 2007 merupakan dampak dari pemanasan global. Setiap tahun, jumlah bencana alam naik hampir 20 persen dari tahun sebelumnya. Hingga 10 Oktober 2007, Federasi telah mencatat ada 410 bencana dan 56 persen dari jumlah itu disebabkan oleh perubahan cuaca atau iklim.

Pada 2006, IFRC mencatat 427 bencana alam. Angka tersebut meningkat sebesar 70 persen dalam dua tahun sejak 2004. Selama 10 tahun terakhir, jumlah bencana alam meningkat 40 persen dari dekade sebelumnya. Sedangkan angka kematian yang disebabkan oleh bencana alam meningkat dua kali lipat menjadi 1,2 juta orang dari 600.000 pada dekade sebelumnya. Jumlah korban bencana alam juga meningkat setiap tahun. Tahun 2007, 270 juta orang menjadi korban bencana alam sedangkan tahun sebelumnya 230 orang (Suara Pembaruan, 2007).

Di Indonesia sendiri telah berulang kali terjadi bencana banjir, longsor, banjir pasang naik, gempa, tsunami, bahkan beberapa saat lalu telah terjadi musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Tangerang, Banten akibat tidak kuat menahan tekanan air hujan yang tertampung.

Menurut laporan Walhi, antara tahun 2006-2008, di Indonesia sedikitnya telah terjadi 840 peristiwa bencana alam. Sedang periode sebelumnya, antara 1998 hingga 2003 tercatat sebanyak 647 bencana. Data bencana dari Bakornas Penanggulangan Bencana antara tahun 2003-2005 tercatat terjadi 1.429 bencana. Artinya, antara 1998 hingga 2008 terdapat indikasi peningkatan peristiwa bencana.

Di Sumatera Selatan (Sumsel) saja, sepanjang tahun 2008 telah terjadi 30 kali bencana alam, antara lain bencana banjir, angin puting beliung, tanah longsor, serta kebakaran rumah warga maupun lahan. Bencana alam banjir sebanyak tiga kali terjadi antara lain di Kabupaten Musi Rawas, Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Ilir. Sedangkan tahun 2009 hingga saat ini telah terjadi bencana alam sebanyak enam kali, antara lain banjir di Kabupaten Ogan Ilir termasuk di wilayah Kota Palembang (Regional Roll, 2009).

Dana bencana alam pun meningkat. Di awal 2009 sekarang saja, dana bencana alam di Departemen Sosial tahun 2009 sudah terserap sebanyak Rp 300 milliar dari Rp 400 miliar yang dianggarkan. Artinya yang tersisa pada Februari 2009 hanya Rp 100 milliar.

Berbagai bencana alam sebagai fenomena pemanasan global tersebut menurut peneliti yang juga dosen senior dari Fakultas Kehutanan UGM Ir San Afri Awang M.Sc (2008) merupakan dampak dari degradasi hutan. Bahkan dikawatirkan jika degradasi dan deforestasi hutan terus berlanjut sekiranya 20% pulau di wilayah Indonesia akan tenggelam seiring dengan naiknya suhu dan cuaca sekitar dua derajat celcius akibat pemanasan global.

Demikian juga krisis air yang telah terjadi saat ini akan semakin parah. Menurut Hidayat Pawitan, Profesor Hidrologi Sumber Daya Air dari Institut Pertanian Bogor (IPB) (Kapanlagi.com, 2009), ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa dan Bali sudah berada pada titik kritis, dengan perbandingan tingkat penggunaan dan ketersediaan air lebih dari 50%.

Berdasarkan neraca penggunaan air nasional sudah lebih dari 50 persen indeksnya, ini sudah kritis. Indeks ketersediaan air yang aman kurang dari 30%. Saat ini ketersediaan air di Jawa dan Bali sekitar 126.451 juta meter kubik dengan total kebutuhan air 65.840 juta meter kubik, dimana 80% di antaranya digunakan untuk keperluan irigasi.

Hal itu terjadi karena Pulau Jawa dan Bali telah mengalami perubahan signifikan dalam aspek sosio-ekonomi, lingkungan, klimatologi serta hidrologi yang secara langsung mempengaruhi ketersediaan air permukaan. Kebutuhan air di kawasan itu semakin meningkat, seiring pertumbuhan populasi dan peningkatan polusi, sementara kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air makin rendah, akibat deforestasi dan kerusakan lahan.

Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan. Koefisien limpasan pada kawasan yang hutan alamnya masih bagus di bawah 0,1%, kalau sebagian hutan sudah dikonversi menjadi sawah koefisien limpasan biasanya bertambah menjadi 30%, dan kalau dikonversi menjadi ruko bisa mencapai 90%, sedikit sekali air yang tertahan.

Konservasi
Untuk menekan dampak deforestasi, menurut Hidayat Pawitan, pemerintah mesti mengembangkan upaya pelestarian sumberdaya air secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Yaitu dimulai dengan konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan, dengan model yang dibuat berdasarkan kondisi awal dari kawasan tersebut.

Tentunya penting juga penegakan hukum terhadap pelaku penebangan ilegal ((illegal logging) untuk mencegah perusakan hutan lebih lanjut. Maraknya penebangan ilegal telah memperparah degradasi dan deforestasi hutan yang sekarang sudah mencapai 59 juta ha dengan laju degradasi tahun 2000-2007 seluas 1,18 juta ha/tahun.
Sejak tahun 1999, menurut San Afri Awang, perambahan hutan ilegal itu marak terjadi sebagai akibat belum diterapkannya tata kelola hutan yang baik dan sesuai menurut kaidah ilmu pengetahuan kehutanan. Kaidah utama tersebut adalah tindakan penataan kawasan hutan menjadi unit-unit manajemen terkontrol. Namun selama ini lebih dari 30 tahun, unit manajemen hutan tropis di luar Jawa tidak diterapkan.

Perusahaan swasta yang mendapat ijin pemerintah hanya menjalankan rencana eksploitasi dan menyerahkan regenerasi tanaman pada alam, perusahaan tidak membangun unit manajemen hutan lestari. Perusahaan swasta ini sebagian besar tidak peduli dengan kelestarian hutan, sementara pengawasan atas eksploitasi hutan dari pemerintah sangat lemah dan tidak sistematis.

Pusat Semburan Lumpur Ditenggelami Beton

25 Mar 2010

Sudah hampir 4 tahun bencana semburan lumpur Lapindo menenggelamkan kehidupan di sebagian wilayah Porong, Sidoarjo. Berikut ini penuturan Zaini (penulis) berdasarkan pengamatannya tentang kondisi terkini seputar pusat semburan lumpur Lapindo yang disampaikan pada beritabumi.or.id sebagai tanggapan atas kondisi lumpur Lapindo, Minggu (21/3).

Saat ini menurut pengamatan saya, pusat semburan lumpur ditenggelami beton. Efeknya adalah getaran di dalam dari tenggelamnya beton. Sedangkan pada sumur pusat semburan tanah di dalamnya sensitif akibat dari kebocoran pengeboran. Penumpukan beton akan mengakibatkan air bertekanan tinggi yang menghasilkan lumpur panas menerobos dan menggerus tanah di sekitar pusat semburan. Sehingga terjadi pelebaran diameter yang mengakibatkan semburan makin besar.

Pelebaran diameter juga dapat diakibatkan karena lamanya waktu semburan yang hampir selama 4 tahun. Kalau pusat semburan makin besar, mungkin semburan liar yang terjadi berkurang. Itu karena air bertekanan tinggi lebih cenderung fokus pada ruang yang lebih besar (pusat semburan). Kalau semburan liar yang terjadi setelah pelebaran diameter itu merupakan air bertekanan tinggi terperangkap dalam jumlah yang sangat kecil sehingga semburan liar yang terjadi berlangsung dalam waktu yang tidak lama.
Tentang semburan liar yang terjadi suhunya tidak selalu tinggi.

Itu karena air bertekanan tinggi mengalami kapilaritas (peresapan) sehingga air bertekanan tinggi tidak mampu keluar dan hanya memberikan gaya pada air tanah sehingga yang keluar ke permukaan hanya air tanah yang bersuhu rendah (beberapa semburan liar yang terjadi suhunya rendah dan berlangsung pada waktu yang tidak lama).

Fenomena semburan berhenti beberapa saat Itu merupakan penumpukan beton dengan ukuran diameter bervariasi. Karena terjadi penumpukan, maka semburan berhenti beberapa saat. Ketika semburan berhenti beberapa saat akibat penumpukan beton, lumpur panas hasil air bertekanan tinggi tidak bisa keluar dan menyebabkan penggerusan lapisan lempung oleh air bertekanan tinggi yang dapat membentuk wadah lumpur, sementara itu air bertekanan tinggi terus-menerus diberikan dari kebocoran pengeboran, maka air bertekanan tinggi terus-menerus memberikan gaya pada wadah lumpur, karena volume lumpur sangat besar dan air bertekanan tinggi terus-menerus diberikan dari kebocoran pengeboran, cepat atau lambat lumpur panas hasil air bertekanan tinggi akan keluar.

Sementara itu tanah di sekitar pusat semburan menjadi sensitif akibat suhu tinggi dan getaran dari tenggelamnya beton. Sehingga dengan mudah daerah ini (pusat semburan) lebih cenderung dilalui penumpukan beton dengan kedalaman tidak lebih 80m karena pusat semburan yang terjadi tidak pindah . Kegagalan menghentikan semburan lumpur dengan berat jenis lumpur yang lebih tinggi, selain karena kehabisan lumpur dengan berat jenis lumpur yang lebih tinggi, faktor lain yang mempengaruhi adalah suhu di dalam yang sangat tinggi, sehingga lumpur dengan berat jenis yang lebih tinggi juga ikut tergerus.

Tentang semburan yang akan diprediksikan berhenti dalam waktu 31 atau100 tahun, tidak ada yang bisa memprediksikan kapan semburan akan berhenti karena tidak ada yang mengetahui pasti berapa energi yang dipakai untuk menghasilkan semburan lumpur panas. Kalaupun semburan berhenti dari waktu yang diprediksikan, tidak menutup kemungkinan dalam radius beberapa meter akan mengalami ambles atau longsor secara besar-besaran dan dampak lainnya akan menghadang di masa yang akan datang.

Kegagalan pengeboran menyebabkan air bertekanan tinggi di antara partikel pasir menekan ke samping dan memberikan ruang gerak air bertekanan tinggi. Sehingga air bertekanan tinggi membuat daerah untuk dilalui. Dan dalam perjalanan mulainya air bertekanan tinggi melewati pori-pori dan meresap menyebabkan penggerusan, sehingga air bertekanan tinggi membentuk sebuah daerah untuk dilalui. Untuk menghentikan kebocoran rasanya sangat sulit karena air bertekanan tinggi dalam waktu hampir 4 tahun sudah membuat daerah yang lebih luas bergerak.

Lakukan pengeboran kembali di antara pusat semburan dengan pengeboran lama sesuai standart pengeboran. Sebelum melakukan pengeboran baru, tarik garik lurus antara pusat semburan dengan pengeboran lama, cari jarak idealnya melalui perhitungan. Bor hingga kedalaman kebocoran, tentukan juga titik potong kedalaman pengeboran baru. Lumpur yang dihasilkan mengandung gas-gas asam yang beracun, semua upaya penanggulangan sudah maksimal, terpaksa menghentikan semburan dengan reaksi kimia.

Masukkan senyawa kimia Alkali (Hidroksida) agar bereaksi dengan fluida yang naik dari pusat semburan, masukkan dari pengeboran baru. Volume senyawa Alkali (Hidroksida) yang dimasukkan lebih dari atau sama dengan volume debit lumpur yang dikeluarkan dari pusat semburan. Untuk memilih senyawa Alkali (Hidroksida), dengan viskositas lumpur, suhu lumpur, berat jenis lumpur dan ukuran partikel lumpur . Gerakan fluida karena underground akan membantu penghomogenan. Untuk penentuannya sebagai berikut: A = ½ x B x C x D E F² = B²-C²+D².

Keterangan: A = Jarak ideal untuk melakukan pengeboran baru (m); B = Kedalaman kebocoran pengeboran (m); C = Jarak antara pusat semburan dengan pengeboran lama(m); D = Diameter pipa yang digunakan untuk melakukan pengeboran baru (m); E = Debit perhari dari pusat semburan (m3) F = Kedalaman kebocoran (m).

Untuk pengeboran baru tidak lebih atau sama dengan kebocoran pengeboran lama. (kalau mungkin ada penentuan lain). Kalau bisa dimasukkan dari pengeboran lama tidak perlu melakukan pengeboran baru karena bisa langsung bereaksi. Kalau dalam dalam waktu hampir 4 tahun bisa menenggelamkan sekian desa, maka dalam beberapa tahun ke depan berapa desa lagi yang akan tenggelam.

Lumpur yang naik ke permukaan suhunya tinggi dengan disertai gas-gas beracun, NaOH mungkin yang efektif untuk bereaksi dengan fluida yang naik ( kalau ada senyawa lain yang lebih efektif) prinsip dari metode ini adalah menetralkan fluida yang bersuhu tinggi disertai gas-gas beracun. NaOH yang dimasukkan akan bereaksi dengan fluida, NaOH juga dapat mengendapkan unsur-unsur logam berat yang ada dalam fluida. Jika fluida netral, kebocoran pengeboran akan tersumbat endapan dari reaksi.

Efek dari metode ini mungkin adalah mata air penduduk sekitar, pH mata air penduduk akan sedikit meningkat. (pertanyaan pada poin c) (mungkin ada senyawa lain yang lebih ekfetif). Kalau bisa sebelum melakukan metode tersebut pastikan sumur yang dilakukan pengeboran miring dalam keadaan tdak berfungsi agar senyawa yang dimasukkan hanya fokus tertuju pada pusat semburan dan beberapa semburan yang terjadi di sekitarnya.

Berapa ribu tonpun semen yang disuntikan pasti akan terseret oleh aliran fluida, ditambah lagi cenderung akan menyebabkan semburan baru.

Kesalahan Regulasi, Buntut Kerusakan Lingkungan

15 May 2008

Tragedi lingkungan yang melanda Indonesia tak pernah punah bahkan semakin akrab. Betapa tidak, dari tahun ke tahun berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan dan puso serta longsor, senantiasa menjadi malapetaka yang menimpa negeri ini. Ribuan hektar sawah dan perladangan masyarakat hancur berantakan bahkan hilang lenyap tak berbekas ditelan bencana banjir dan longsor.

Kondisi ini semakin diperparah, terlebih jika kita menyaksikan pentasan bencana di gelanggang pangan rakyat di tengah kritisnya bumi ini. Ratusan hektar sawah masyarakat Bellu Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak tahun 2000 hingga sekarang terus menyusut. Kondisi itu tentunya memperparah krisis pangan pada masyarakat Bellu.

Belum lagi dalam dekade tiga tahun terakhir ini, banjir dan longsor di Kabupaten Halmahera Maluku Utara dan Morowali sebagai bencana banjir yang terbesar sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir di Sulawesi Tengah yang dirasakan oleh 18.142 jiwa penduduk di Kecamatan Bungku Utara, 7.933 jiwa di Kecamatan Mamosalato, 28.662 jiwa di Kecamatan Petasia dan 4.945 jiwa di Kecamatan Soyojaya.

Apa buntut persoalan? Jika dicermati lebih jauh, faktor penyebabnya pada aspek kebijakan atau regulasi. Apabila berbagai bencana lingkungan kita kaji lebih mendalam, pangkal persoalannya banyak bermuara pada kebijakan pemerintah di sektor kehutanan. Ini terbukti sejak masa Orde Baru yang mengeluarkan kebijakan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-Undang Pokok Pertambangan No 11/1967. Dua regulasi ini merupakan awal krisis lingkungan berkelanjutan.

Mengapa? Dengan pada regulasi tersebut di atas, telah terjadi pemberian konsesi untuk Hak Pengusahaan Hutan (PP No 21/1970), Hutan Tanaman Industri (PP No 7/1990), Hutan Kemasyarakatan (SK Menhut 677/Kpts-II/1998) dan usaha pertambangan, merupakan kebijakan yang ambisius. Artinya, di satu sisi devisa yang diperoleh dari sektor kehutanan (green gold rush) merupakan sumber potensial terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi pada periode 1980-1990an. Pada sisi lain, kewenangan yang diberikan pada pemegang konsesi hutan dan tambang menjadi alat eksploitasi yang sangat destruktif.

Sebagai contoh, kerusakan hutan di Kalimantan akibat dari pemberian konsesi untuk HPH yang berhasil memproduksi asap ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Philipina, merupakan sebuah pengalaman pahit yang menimpa negeri ini. Ijin konsesi ini dimulai sejak rejim Soeharto berkuasa dan terkesan belum ada perubahan yang sigifikan walau telah terjadi pergantian presiden mulai dari Presiden Habibie sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang memimpin negeri ini.

Sekedar mengingatkan kita, sekitar bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar merupakan kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong. Laporan FAO ‘State of the World’s Forests 2007’ menyebutkan Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya.

Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah memporak-porandakan dan merusak hutan dan lingkungan. Kawasan-kawasan hutan yang telah ditebang oleh HPH, dengan menggunakan fasilitas 'logging road' dan 'skidding road', berbagai kegiatan eksploitasi dan konversi hutan yang semakin memperparah kerusakan hutan akan menyusul, seperti operasi IPK, penebangan liar, perkebunan skala besar dan sebagainya.

Pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menyatakan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera karena harus kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutan. Forest Watch Indonesia (2001) menyatakan kalau kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah (bukan rawa) di Sumatera akan punah dan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama di tahun-tahun mendatang.

Sementara sektor pertambangan dengan merujuk pada Undang-Undang Pokok Pertambangan No 11/1967, berbagai bentuk kebijakan telah melahirkan bencana kemanusiaan. Sebut saja bencana lumpur gas Lapindo yang kini belum juga selesai penanggulangannya, menjadi salah satu bukti kebijakan pertambangan yang tidak mempertimbangkan risiko bencana.

Bukan hanya itu, masih banyak berbagai kebijakan pertambangan yang bakal melahirkan bencana kemanusiaan. Misalnya, kebijakan eksploitasi tambang emas dan tembaga di wilayah Kabupaten Lembata, Provinsi NTT oleh Grup Merukh Enterprises, PT Merukh Lembata Copper; yang sedianya akan beroperasi pada 2009 nanti. Rencana ini menunjukkan Pemerintah Daerah Lembata dan perusahaan tak pernah surut dari langkah kebijakannya dan menampik gelombang protes dari masyarakat Lembata.

Ironisnya, areal yang bakal menjadi wilayah eksploitasi tambang emas dan tembaga ini mencakup sebagian besar wilayah pengembangan hutan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan kebijakan pengembangan hutan Lembata oleh Dinas kehutanan. Ini berarti, negara telah dirugikan dari total anggaran yang telah diplot untuk program Gerhan dan pengembangan kehutanan, berikut luas wilayah hutan Kabupaten Lembata telah berkurang dari total luas 1.644 hektar.

Dari semua fenomena tersebut, menjadi nyata bahwa kerusakan lingkungan berbuntut pada aspek kebijakan atau regulasi yang diikuti dengan keserakahan personal atau oknum yang bermain di dalamnya dengan berbagai intrik untuk kepentingan dirinya dan kroni-kroninya. Ini akan sedikit terminimalisir jika ada kesadaran moral baru bagi semua pihak terlebih para pemegang kebijakan di negeri ini.


http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0076&ikey=1